. Recha Seprina Of History

Filsafat Pragmatis

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Berdasarkan perkembangan sejarah filsafat naturalisme merupakan aliran yang tertua sedangkan pragmatisme adalah yang paling muda, namun di samping itu sangat penting diketahui adanya aliran-aliran lain di sela-sela antara naturalisme dengan pragmatisme.

Pragmasis dipandang sebagai aliran filsafat modern yang lahir di Amerika akhir abad 19 hingga awal abad 20. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empiris Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Filsafat ini cenderung mengabaikan hal-hal yang bersifat metafisik tradisional dan terarah pada hal-hal yang pragmatis kehidupan. Pragmatisme lahir di tengah-tengah situasi sosial Amerika yang dilanda berbagai problema terkait dengan kuat dan masuknya urbanisasi dan industrialisasi. Berakhirnya perang dunia I dengan korban sekitar 8,4 juta jiwa secara tidak langsung telah melahirkan dampak psikologis yang begitu meluas dan memicu terjadi berbagai perubahan-perubahan bangsa, khususnya filusuf di dalam menyadari hidup dan kehidupannya. Eropa abad pertengahan kehilangan utopia hidupnya mulai dari moralitas serta spritual. Atas nama nasionalisme dan demi mengejar keuntungan-keuntungan serta kebanggaan semu, dunia yang selama ini beradab telah membuktikan diri hadir menjadi dunia yang sepenuhnya irasional, horor dan buta terhadap gagasan-gagasan nilai yang dibangunnya.

Dalam kondisi seperti di atas ini, pragmatisme lahir di Amerika. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mualai dari Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931). Ketiga filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupun matematika, filosof Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan pragmatisme James adalah personal, psikologis dan bahkan mungkin religius.

Dalam perkembangannya, pragmatisme akan mempengaruhi teori-teori pendidikan yang lahir setelahnya, mulai dari progresivisme, rekonstruksionisme, futurisme serta humanisme pendidikan, namun diantara aliran-aliran itu terdapat dua aliran pendidikan yaitu progresivisme dan humanisme, di mana pengaruh pragmatisme sangat kuat di dalam’y.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana pengertian filsafat pendidikan pragmatisme?
2.    Siapa tokoh-tokoh filsafat pendidikan pragmatisme?
3.    Bagaimana pandangan filsafat pragmatisme?
4.    Bagaimana implementasi filsafat pendidikan pragmatisme dalam pendidikan?
5.    Bagaimana implementasi filsafat pendidikan pragmatisme dalam pembelajaran sejarah?

C.       Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah :
1.    Mengetahui pengertian filsafat pendidikan pragmatisme.
2.    Mengetahui tokoh-tokoh filsafat pendidikan pragmatisme.
3.    Mendeskripsikan tentang pandangan filsafat pragmatisme.
4.    Mengetahui implementasi filsafat pendidikan pragmatisme dalam pendidikan.
5.    Mengetahui implementasi filsafat pendidikan pragmatisme dalam pembelajaran sejarah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.     ANATOMI, EPISTIMOLOGI dan AKSIOLOGI PRAGMATIS
Pragmatis berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Maksudnya adalah bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. orang-orang sering menyebutkan kata pragmatis ini dalam pengertian praktis, tetapi pengertian seperti ini belum menggambarkan keseluruhan dari pengertian pragmatisme.

Istilah lainnya yang dapat diberikan pada filsafat pragmatisme adalah intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut intrumentalisme, karena menganggap bahwa dalam hidup itu tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang merupakan alat untuk mencapai tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir. Kalau suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalamandalam menentukan kebenarannya.

Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahsa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu, kebenaran filsafat menjadi relatif tidak mutlak.

Pragmatis merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori pgarmatis berbeda dengan teori koherensi dan korespondensi yang keduanya berhubungan langsung dengan realita objektif, pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide-ide melalui konsekuensi-konsekuensi dari pada praktek atau pelaksanaannya. Arinya ide-ide itu belum dikatakan benar atau salah sebelum diuji.

Pragmatis meletakkan pemakaian mengenai sesuatu di atas pengetahuan itu sendiri. Maka dari itu utilitas (kegunaan) beserta kemampuan perwujudan nyata adalah hal–hal yang mempunyai kedudukan utama di sekitar pengetahuan mengenai sesuatu itu. Pragmatisme memandang realita sebagai suatu proses dalam waktu, yang berarti orang mengetahui/mempunyai perasaan untuk menciptakan atau mengembangkan hal-hal yang diketahui. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan tersebut dapat menjadi unsur penentu untuk mengembangkan pengetahuan itu pula.

Secara umum pragmatisme berarti hanya ide (pemikiran, pendapat, teori) yang dapat dipraktikkanlah yang bener dan berguna. Ide-ide yang hanya ada di dalam ide (seperti ide pada Plato, pengertian umum pada Socrates, definisi pada Aristoteles),  juga kebimbangan terhadap realitas objek indra (pada Dscartes), semua itu nonsense bagi pragmatisme. Yang ada ialah apa yang riil ada, demikian kata James tatkala ia membatah Zeno yang yang mengaburkan arti gerak.

Pragmatisme berpandangan bahwa pengetahuan dan perbuatan bersatu tak terpisahkan, dan semua pengetahuan bersumber dari dan diuji kebenarannya melalui pengalaman. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan, dan kondisi optimum atau tertinggi dari pertumbuhan adalah kebebasan mengadakan penelitian bersama dengan urun pemikiran yang tidak terkekang dalam suatu sistem kerja sama yang terbuka. Metode pemecahan masalah yang telah dikembangkan dalam ilmu sebagai pendekatan ilmiah, juga merupakan metode belajar dalam pendidikan.


B.     TOKOH-TOKOH PRAGMATISME
       1.  Charles Sandre Peirce (1839-1914)

Peirce dikenal sebagai pendiri aliran filsafat pragmatisme Amerika. Oleh karena itu terdapat istilah “Piercian” untuk menyebut pemikir pragmatisme. Peirce membedakan pandangan-pandangannya dari pada pragmatis lainnya. Dia merupakan seorang ahli teori logika, bahasa, komunikasi dan teori umum tanda-tanda yang oleh Peirce disebut sebagai semiotika. Selain itu dia juga mendalami logika matematika produktif luar biasa dan matematika umum yang merupakan perkembangan dari psiko, fisik monistik sistem evolusi.

Ia lahir dari keluar kelas menengah yang terpelajar. Ayahnya bahkan seorang profesor Matematikan di Universitas Harvard. Peirce mulanya seseorang yang tertarik persoalan kimia dan goedasi dengan antusiasme yang cukup berlebih. Di sepanjang usianya, ia bahkan tidak selalu terlibat dalam berbagai penelitian-penelitian kimia. Persentuhannya dengan filsafat dimulai diusia 17 tahun.

Saat dia masih duduk sebagai salah seorang mahasiswa di Universitas Harvard. Ia tertarik dengan tulisan-tulisan Schiller tentang “pendidikan Estetis manusia” dan karya Immanuel Kant, “Critique of Pure Reason”. Bagi kant, Pierce bahkan menghabiskan waktu tiga tahun dan membuat kesimpulan jika efektifitas sistem Kant disebabkan oleh apa yang disebut “logika kekanak-kananakan”. Pengalaman ini mempengaruhinya dan mengarahkannya untuk mengabdikan hidupnya dalam studi penelitian logika. Dari tahun 1860-an sampai kematiannya pada 1914, ia melahirkan berbagai karya logika. Pemikirannya bahkan menjadi dasar pijakan utama Scroeder dalam melahirkan karya Vorlesungen ueber die Algebra der Logik. Peirce dianggap sebagai ahli logika terbesar di zamannya, dia dianggap  sebagai ahli logika terbesar yang pernah hidup.

       2.  William James (1842-1910)
James lahir di New York tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. Ayahnya merupakan seorang yang terkenal, pemikir yang kreatif, selain kaya raya keluarganya juga membekali James kemampuan intelektual yang tinggi, keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupannya.

Pendidikan formulanya mula-mula tidak teratur, ia mendapatkan tutor berkebangsaan Ingris, Prancis, Swiss, Jerman dan Amerika, akhirnya dia memasuki Harvard Medical School tahun 1864 memperoleh Ph.D tahun 1869, tetapi dia kurang tertarik dengan praktik pengobatan dia lebih tertarik dengan fungsi alat-alat tubuh, oleh karena itu kemudian dia mengajarkan anatomi dan fisiologi di harvard, tahun 1875 perhatiannya beralih ke psikologi dan fungsi pikiran manusia. Pada waktu inilah dia menggabungkan diri dengan Peirce, Chauncy Wright, Oliver Wendel Holmes, Jr dan tokoh-tokoh lain dalam Metaphysical Dub untuk berdiskusi dalam masalah-masalah filsafat dengan topik-topik metode ilmiah agama dan evolusi. Di sinilah ia mula-mulanya mendapat pengaruh Pleirce dalam metoda pragmatisme.

Pandangan filsafatnya, diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam praktik, apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi olehpengalamn berikutnya.

Nilai konsep atau pertimbangan kita, bergantung kepada akibatnya, kepada kerjanya. Artinya, bergantung pada keberhasilan perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar bila bermanfaat pada pelakunya, memperkaya hidup dan kemungkinana-kemungkinan.

Manurut james, dunia tidak dapat diterangkan dengan berpangkal pada satu asas saja. Duni adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan. Tentang kepercayaan agama dikatakan, bagi perorang-orangan, kepercayaan adanya suatu realitas cosmis lebih tinggi itu merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepadanya suatu hiburan rohani, penguata kebenaran hidup, perasaan damai, keamanan dan sebagainya. Segala macam pengalaman keagamaan mempunyai nilai yang sama, jika akibatnya sama-sama memberikan kepuasan kebutuhan keagamaan.

Filsafat pada mulanya, sampai kapan pun merupakan usaha menjawab pertanyaan yang penting-penting. Orang telah berusaha menjawab pertanyaan itu dengan indra (empiris dalam arti yang datar), dengan akal (rasionalisme) dan dengan rasa (intusionisme) ketiga isme itu mempunyai banyak variasi pandangan di dalamnya. James mencoba menjawab pertanyaan kepada isme pertama dan ingin menggabungkan dengan isme kedua. Penggabungan yang dia lakukan dinamakan pragmatisme, meminjam nama yang sudah digunakan orang sebelum dia, akan tetapi sayang penggabungan itu gagal.

James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktikkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang amerika sekarang. Dengan kata lain orang yang paling bertanggung jawavb terhadap generasi amerika sekarang adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak dalam filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat subjektivitas, individualisme dan dua ini saja sudah cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan bahkan manusia itu sendiri.

       3.  John Dewey (1859)
Sebagai pengikut filsafat pragmatisme, Dewey mengatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang pragtis, tidak ada faedahnya, oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan pengolahan secara kritis.

Menurutnya tidak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berfikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berfikir tidak lain dari pada alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari keberhasilan tidaknya mempengaruhi kenyataan. Dsatu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur panfalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metoda induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengatahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-soalan sosial dan moral.

            4.  George Herbert Mead (1863-1931)
Mead atau George Herbert Mead memiliki periode hidup yang tidak jauh berbeda dengan William James dan Pierce. Dia juga dikenal dengan filusuf Amerika yang berpengaruh, khususnya dalam aliran pragmatisme. Mead lebih banyak sebagai seorang pakar teori sosial ketimbang seorang filusuf, terutama karena ketrtarikannya yang berlebihan kepada teori-teori sosial.

Mead lahir di daerah Hadley Selatan, Massachusertts. Ia merupakan anak seorang  pendeta dari gereja Kongregasional yang kemudian pada 1869 pindah ke Ohio untuk bergabung dengan The Oberlin Theological Seminary untuk mengajar homiletik, karena kepindahan itu Mead belajar  di Oberlin dari tahun 1879-1883, kemudian dari tahun 1887-1888 ia belajar di harvard pada seorang filusuf bernama Josiah Royce seseorang yang begitu mendalami pemikiran Hegel dan cukup berpengaruh pada diri Mead. Selama bertahun-tahun di kampus, Mead menjadi sosok seorang naturalis yang mengagumi pemikiran Darwin di satu sisi dan Hegel di sisi lain, meskipun demikian dia memerankan sebagai seorang kristen yang baik, yang percaya bahwa kesaksian Kristen selalu mesti dilahirkan dalam sikap-sikap pelayanan pada kepentingan umum.

Salah satu pemikiran Mead yang kerap menjadi perhatian ialah konsepnya tentang gesture. Di dalam hal ini dia menulis “Gesture become significant symbols when they implicitly arouse in the individual making them the same responses which the explicitly arouse, or are supposed to arouse, in the individuals”.

C.     PANDANGAN PRAGMATISM
       1. Tentang Ralitas
Paham pragmatisme ini sepenuhnya berbasis pendekatan empiris yakni apa yang bisa dirasakan itulah yang  benar artinya akal, jiwa dan materi adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, para pragmatis tidak nyaris pernah mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang mereka alami akan berubah jika realitaa yang mereka alamipun berubah.

Realita bukanlah suatu hal yang abstrak, sebaliknya dia hanya sebuah pengalaman transaksional yang secara konstan dan akan terus-menerus berubah. Realitas dan dunia yang kita amati tidak bebas dari ide manusia dan sekaligus tidak terikat kepadanya. Manusia dan lingkungannya berdampingan dan memiliki tanggungjawab jawab yang sama terhadap realitas. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi realitas dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya.

Teori pragmatisme tentang perubahan yang terus-menerus didasari pandangan Heracleitos (540-480 SM), seorang filosof Yunani dengan teori yang disebut “panta rei” artinya mengalir secara terus-menerus, Dia mengatakan tidak ada sungai yang dialiri oleh air yang sama. Bagi pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah memikirkan makna dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh panca indra manusia. Realitas adalah apa yang dapat diamati dan dialami secara inderawi.

Manusia pada dasarnya plastik dan dapat berubah. Manusia dipandang sebagai makhluk fisik sebagai hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis, karena manusia terus-menerus berkembang. Anak merupakan organisme yang aktif, secara terus-menerus merekonstruksi dan menginterpretasi serta mereorganisasi kembali pengalaman-pengalamannya, anak akan tumbuh dan berkembang apabila berhubungan dengan yang lain.
Tema pokok filsafat pragmatisme adalah (1) Esensi realitas adalah perubahan; (2) Hakikat sosial dan biologis manusia yang esensial; (3) Relativitas nilai; (4) Penggunaan intelegensi secara kritis.

Watak pragmativisme adalah humanistik dan menyetujui suatu dalil “manusia adalah ukuran segala-galanya” (Man is the measure of all things). Tujuan dan alat pendidikan harus fleksibel dan terbuka untuk perbaikan secara terus-menerus. Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan pendidikan harus rasional dan ilmiah.   

       2. Tentang Pengetahuan 
Corak paling kuat dari pragmatisme adalah kuatnya pemikiran tentang konsep kegunaan, makna kegunaan ini lebih ditetapkan pada kegunaan sains, bukan hal-hal yang bersifat metafisik. Maka, dalam pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan dengan kepercayaan, tapi menjadi hal yang terpisah. Kebenaran yang dianggap perlu dipercayai  bagi para pragmatis selalu menjadi hal yang bersifat personal dan tidak perlu dikabarkan pada publik, sedangkan hal-hal yang dianggap perlu diketahui haruslah selalu dikabarkan pada pengamat yang qualified dan tak berpihak. Sehingga kebenaran dalam pragmatis selalu bersifat relatif dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang valid dan berguna, di suatu waktu bisa menjadi hal yang dilupakan.

Pragmatisme menyatakan bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya secara empiris. Pikiran tidak bertentangan dan terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian dari dunia. Pengetahuan menjadi transaksi antara manusia dan lingkungannya dan kebenaran merupakan bagian dari kebenaran. Pengalaman senantiasa berubah, inti dari pengalaman adalah perubahan masalah-masalah yang dihadapi oleh individu maupun sosial, dan untuk memecahkan masalah-masalah yang selalu muncul ini yang berasal dari pengalaman yang selalu berubah maka diperlukan alat untuk memecahakan masalah-masalah tersebut yaitu dengan pengetahuan-pengetahuan yang oleh Dewey disebut instrumentalisme.

Pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan berfikir adalah kemajuan hidup, yakni untuk memajukan dan memperkaya kehidupan. Nilai pengetahuan manusia dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis. Menurut James “tidak ada ukuran untuk menilai kebenaran absolut, benar atau palsunya pikiran akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktik dan tergantung dari berhasil atau tidaknya tindakan tersebut”.

Pengetahuan yang benar adalah pengetauan yang berguna. Menurut James “suatu ide itu benar apabila memiliki konsekuensi yang menyenangkan”. Menurut Dewey dan Peirce “Suatu ide itu benar apabila berakibat memberikan kepuasan jika diuji secara obyektif dan ilmiah”. Secara khusus pragmatisme mengemukakan bahwa ide yang benar tergantung kepada konsekuensi-konsekuensi yang diobservasi secara obyektif dan ide tersebut operasional.

Teori kebenaran merupakan alat yang kita gunakan untuk memecahkan masalah dalam pengalaman kita. Suatu teori itu benar jika berfungsi. Kebenaran bukan suatu yang statis melainkan tumbuh berkembang dari waktu ke waktu. Menurut  James dalam Harun Hadiwijono, 1980 yang dikemukankan oleh Uyoh Sadulloh(2008: 121) “Tidak ada kebenaran mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, tidak lepas dari akan pikiran yang mengetahui. Pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam pengalaman senantiasa berubah karena dalam  praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak, yang ada hanya kebenaran-kebenaran yaitu kebenaran yang ada dalam pengalaman yang suatu saat dapat diubah oleh pangalaman berikutnya”.

Metode intelegen merupakan cara ideal untuk memperoleh pengetahuan, kita akan mengerti segala sesuatu dengan penempatan dan pemecahan masalah. Intelegensi mangaju pada hipotesa untuk memecahakan masalah tersbut, di mana hipotesisnya menjelaskan fakta-fakata masalah tersebut. Untuk memecahkan masalah-masalah sosial dan perorangan diharapkan menggunakan logika sains pada pengalaman yang problematis. Dalam memecahkan masalah ini hendaknya melalui lima tahap Menurut Dewey dalam Wini Rasyidin yang dikemukankan oleh Uyoh Sadulloh(2008: 121) yaitu sebagai berikut :
a.     Indeterminate situation, timbulnya situasi ketegangan di dalam pengalaman yang perlu dijabarkan secara spesifik.
b.     Diagnosis, artinya timbul upaya mempertajam  masalah sampai panentuan faktor-faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.
c.     Hypotesis, adanya upaya menemukan gagasan yang diperkirakan dapat mengatasi masalah dengan jalan mengerahkan pengumpulkan informasi yang penting-penting.
d.     Hypotesis testing, pelaksanaan berbagai hipotesis yang paling relevan secara teoritis untuk membandingkan implikasi masing-masing kalau dipraktikkan.
e.     Evaluation, mempertimbangkan hasilnya setelah hipotesis terbaik dilaksanakan yaitu dalam kaitan dengan masalah yang dirumuskan pada langkah ke-2 dan ke-3.
Berdasarkan langkah di atas, Dewey berusaha menyusun teori yang logis dan konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan dan penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang beraneka ragam, dalam artian alternatif-alternatif. Menurutnya  apa yang benar adalah apa yang pada akhirnya disetujui atau diterima oleh semua orang yang menyelidikinya.

Pengalaman merupakan interaksi antara manusia dan lingkungannya dengan organisme biologis. Pengalaman manusia membentuk aktivitas untuk memperoleh pengetahuan. Kegiatan berfikir timbul  disebabkan adanya gangguan terhadap situasi (pengalaman) yang menimbulkan masalah bagi manusia.  Berfikir ilmiah merupakan alat untuk memecahkan masalah yang disebut metode intelegen atau metode ilmiah.

       3. Tentang Nilai 
Pandangan pragmatis mengemukakan pandangan tentang nilai, bahawa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah moral dan etika tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan kebudayaan, masyarakat dan lingkungannya. Untuk menguji kualitas nilai sama dengan cara menguji kebenaran pengetahuan. Nilai moral maupun etis dilihat dari perbuatannya bukan dari segi teori. Jadi, pendekatan terhadap nilai adalh cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan cara tidak memihak dan secara ilmiah memiliki nilai-nilai yang tampaknya memungkinkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia. Nilai-nilai ini tidak dapat dipaksa untuk diterima, tapi akan diterima setelah di diskusikan secara terbuka berdasarkan bukti-bukti empiris dan obyektif.

Nilai lahir dari keinginana, dorongan dan perasaan manusia serta kebiasanaan mereka, sesuai dengan wataknya antara biologis dan sosial di dalam diri dan kepribadiannya. Nilai merupakan suatu realitas kehidupan yang merupakan suatu wujud perilaku manusia sebagai suatu pengetahuan dan ide, ini dikatakan benar bila mengandung kebaikan, berguna dan bermanfaat bagi manusia untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan dalam lingkungan tentu.

       4. Tentang Pendidikan
a.       Konsep pendidikan
Pendidikan bukan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu. Baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalamannya. Pengalaman itu berasal dari lingkungannya. Dewey mengataan perlunya pendidikan yaitu berdasarkan tiga pokok pemikiran :
1)      Pendidikan merupakan kebutuhan hidup
Hal ini berdasarkan adanya anggapan bahwa selain sebagai alat, pendidikan juga berfungsi sebagai pembaharuan. Hidup itu selalu berubah, selalu menuju pada pembaharuan. Untuk kelangsungan hidup diperlukan suatu usaha untuk mendidik anggota masyarakat, yaitu mereka akan meneruskan usaha pemenuhan kebutuhan hidup sebagi minat pribadi, karena perubahan hidup tidak berlangsung secara otomatis melainkan tergantung pada teknologi, seni, ilmu pengetahuan, dan perwujudan moral kemanusiaan. Untuk itulah semuanya membutuhkan pendidikan.

2)      Pendidikan sebagai kebutuhan untuk hidup
Kekuatan untuk tumbuh tergantung pada kebutuhan atau ketergantungan terhadap orang lain dan plastisitas yang dimiliki oleh anak. Ketergantungan bukan berarti harus selalu mendapatkan pertolongan melainkan harus dilihat sebagai pertumbuhan yang didorong oleh kemampuan yang tersembunyi yang belum diolah. Plastisitas di sini adalah kemampuan belajar dari pengalaman yang merupakan pembentukkan kebiasaan. Kebiasaan aktif melibatkan pikiran, inisiatif dan hasil untuk melaksanakan atau mencapai tujuan-tujuan baru. Pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, sedangkan pendidikan adalah hidup itu sendiri dan pertumbuhan itu sendiri.

3)      Pendidikan sebagai fungsi sosial
Kelangsungan hidup terjadi akibat pertumbuhan karena pendidikan yang diberikan pada anak-anak dan pemuda masyarakat. Masyarakat meneruskan dan menyelamatkan sumber dan cita-cita masyarakat. Dalam hal ini lingkungan merupakan proses utama dalam pendidikan. pendidikan merupakan suatu cara yang ditempuh  masyarakat dalam membimbing anak yang masih belum matang menurut bentuk susunan sosial sendiri. Kehidupan anak yang belum matang selalu berinteraksi dengan lingkungan, maka dalam hal ini sekolah merupakan sebagai fungsi sosial, yaitu sebagi alat transmisi yang berfungsi sebagai (a) Menyederhanakan dan menertibkan faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang; (b) Memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada; dan (c) Menciptakan suatu lingkungan yang lebih luas dan lebih baik dari padayang diciptakan anak tersebut dan menjadi milik mereka untuk dikembangkan.

b.      Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan harus dari situasi kehidupan disekeliling anak didik, harus fleksibel dan mencerminkan aktivitas bebas, bersifat kontemporer karana tujuan itu merupakan alat untuk bertindak, apabila tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan tersebut menjadi alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kehidupan yang baik untuk kehidupan invididu maupun sosial masyarakat.  Beberapa karakteristik dari tujuan pendidikan yang harus diperhatikan yaitu sebagai berukut :
1)      Hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan instrinsik anak didik.
2)      Harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pelajaran yang sedang berlangsung.
3)      Harus spesifik dan langsung. Pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan dengan umum dan tujuan akhir.

 c.       Proses pendidikan
Pikiran anak itu aktif dan kreaktif, tida secara pasif begitu saya menerima apa yang diberikan gurunya, maka dalam situasi belajar guru seyogyanya harus bisa menyusun situasi-situasi belajar sekita masalah utama yang dihadapi masyarakat yang pemecahannya diserahkan pada peserta didik untuk sampai kepada pengertian lebih baik tentang lingkungan sosial maupun lingkungan fisik.

Dalam menentukan kurikulum, setiap pembelajaran tidak boleh terpisah, harus merupakan suatu kesatuan. Pengalaman di sekolah dan di luar sekolah harus dipadukan, sehingga semuanya merupakan kebulatan atau kesatuan.

Metode yang sebaiknya digunakan adalah metode disiplin, bukan dengan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat dijadikan metode metode pendidikan karena merupakan suatu kekuatan yang datang dari luar dan di dasar oleh suatu asumsi bahwa ada tujuan yang baik dan benar secara obyektif dan si anak dipaksa untuk mencapai tujuan tersebut. Kekuasaan tidak sesuai dengan kemauan dan minat anak, serta gurulah yang menentukan segala-galanya. Guru memaksakan pelajaran untuk anak dan gurulah yang berfikir untuk anak. Dengan cara demikian tidak mungkin anak akan mempunyai perhatian spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran. Disiplin merupakan kemauan dan minat yang keluar dari dalam diri anak sendiri. Anak akan belajar apabila ia memiliki minat dan antisipasi terhadap suatu masalah untuk dipelajari, namun disiplin ini dituntut dari suatu aktivitas dar anak lainnya dalam usaha mencapa tujuan bersama. Dalam usaha belajar dibutuhkan suatu kerja sama dengan yang lainnya. Di dalam kelas anak merupakan suatu kelompok yang merasakan bersama terhadap suatu masalah dan mereka secara bersama-sama memecahkan masalah tersebut.

Guru di sekolah harus menjadi petunjuk jalan serta pengamatan tingkah laku anak, untuk mengetahu apakah menjadi minat perhatian anak. Dengan mengamati perilaku anak tersebut, guru dapat menentukan masalah apa yang akan dijadikan pusat perhatian anak. Jadi, dalam proses belajar mengajar guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut  dalam menghadapi siswa, yaitu:
1)      Guru tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat anak dan kemampuan anak.
2)      Guru hendaknya menciptakan suatu situasi yang menyebabkan anak akan merasakan adanya suatu masalah yang dia hadapi, sehingga timbul minat siswa untuk memecahkan masalah tersebut.
3)      Untuk membangkitkan minat siswa, hendaklah guru mengenal kemampuan serta minat masing-masing siswa.
4)      Guru harus dapat menciptakan situasi yang menimbulkan kerja sama dengan belajar, antara siswa dengan siswa, antar siswa dengan guru, begitu pula antara guru dengan guru.

Jadi, tugas guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai fasilitator, memberi dorongan dan kemudahan bagi siswa untuk bekerja bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berfikir dan menari kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan minat yang ada dalam dirinya. Dengan jalan ini si anak akan belajar sambil bekerja. Anak harus dibangkitkan kecerdasannya agar pada diri anak timbul hasrat untuk menyelidiki secara teratur dan akhirnya dapat berfikir ilmiah dan logis yaitu cara berfikir yang didasarkan pada fakta dan pengalaman.

D.     IMPLIMENTASI PRAGMATISME DALAM PENDIDIKAN
Pragmatisme dilandasi oleh subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman sendiri, sehingga mereka berkembang dan memiliki inisiatif dalam memecahkan problema-problema masalah mereka.

Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar peserta didik saat belajar di sekolah tidak jauh berbeda ketika mereka berada di luar sekolah. Oleh karena itu kehidupan disekolah selalu didasari sebagai bagian dari pengalaman hidup, cara menghadapi problema yang ada disekitar, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup, sehingga nantinya akan membawa peserta didik bisa berfikir kritis dan mampu beradaptasi dengan dunia yang terus berubah dan mampu untuk berhasil dalam menjalani kehidupan.

Selain itu pendidikan pragmatis juga menanamkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran di sekolah, karena pendidikan bukanlah ruang yang terpisah dari lingkungan sosial, maka setiap orang/masyarakat juga diberi kesempatan untuk setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada, tapi keputusan-keputusan ini nantinya dilakukan evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada untuk kemajuan sekolah tersebut.

Di sini guru menjadi pendamping peserta didik, menjadi pemandu atau pengarah aktivitas peserta didik di luar hal-hal yang dibutuhkan oleh peserta didik dengan pertimbangan-pertimbangan dan pengalaman dari guru tersebut. Selain  itu,  guru harus menyusun situasi belajar di sekitar masalah yang harus dipecahkan oleh siswanya. Siswa pada dasarnya merupakan pelajar yang selalu ingin tahu, sehingga mereka diarahkan mengadakan eksplorasi  terhadap lingkungan tempat tinggal mereka, anak akan lebih belajar dari apa yang mendorong mereka untuk meneliti dan menarik perhatian mereka. Guru harus memelihara keinginan atau mendorong siswa untuk meneliti. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar apa yang mereka ingin ketahui, selalu ingn mengetahui yang berkaitan dengan pelajaran seperti sejarah dan ilmu pengetahuan lainnya.

Metoda untuk pembelajaran pragmatisme ini selalu menekankan pengalaman sebagai sesuatu yang sangat berarti, oleh karena itu pengajaran selalu menjadi sesuatu yang dekat dengan hidup, di mana murid terlibat langsung sedangkan guru sebagai pendamping atau pemandu.

Untuk soal kurikulum dibangun atas dasar unit-unit alamiah, tidak menimbulkan persoalan, serta melahirkan pengalaman yang menekankan peserta didik.

Power (1982) di dalam Uyoh Sadulloh (2008; 133) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan adalah sebagi berikut :
1)      Tujuan Pendidika, memberi pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial maupun pribadi.
2)      Kedudukan Siswa, Suatu organisme yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
3)      Kurikulum, berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah menentukan kurikulum. Menghilangkan perbedaan anatara pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan.
4)      Metode, metode aktif yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja).
5)      Peran guru, mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa tanpa menganggu minat kebutuhannya.

Peran sekolah yakni sebagai tempat untuk mengajarkan cara belajar yang mampu menyesuaikan  dengan perubahan-perubahan hidup yang terus-menerus menimpa dunia mereka, sehingga sekolah harus melihat proses-proses dari pembelajarn peserta didik ketimbang melihat muatan materi dan nilai akhir.

Tujuan pendidikan itu ada dalam proses pendidikan, sehingga proses pendidikan tidak memiliki tujuan yang terpisah. Pendidiklah yang memikirkan tujuan pendidikan itu. Pragmatisme memandang bahwa setiap fase dalam proses pendidikan itu merupakan alat untuk mencapai fase berikutnya. Dengan demikian, fase yang akan ditempuh dari fase sebelumnya adalah merupakan tujuan yang ada dalam proses pendidikan itu. M.J.Langeveld, mengemukakan 6 jenis tujuan pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1)       Tujuan akhir (umum, universal, dan total)
2)      Pengkhususan tujuan umum,.
3)      Tujuan tak lengkap (sementara).
4)      Tujuan insidental,
5)     Tujuan intermedier
Tujuan yang paling dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari, yaitu tujuan insidental. (insiden = peristiwa). Tujuan insidental, ialah tujuan yang menyangkut suatu peristiwa khusus. Agak sukar untuk mencari hubungan antara tujuan umum dengan tujuan insidental, namun tujuan insidental sebenarnya terarah kepada realisasi tujuan umum. Jadi hubungan tujuan insidental dengan tujuan umum sangat jauh. Contoh: Ibu, melarang anaknya bermain-main di depan pintu yang terbuka, karena dapat menyebabkan anak itu sakit (masuk angin), atau karena mengganggu lalu lintas di pintu. Jelaslah tujuan insidental sangat jauh dengan kriteria kedewasaan sebagai tujuan umum pendidikan.

Tujuan tentatif, (tentatif = sementara) ialah tujuan yang terdapat pada langkah-langkah untuk mencapai tujuan umum. Karena itu tujuan tentatif lebih dekat pada tujuan umum, dibandingkan dengan tujuan insidental. Tujuan tentatif memberi kesempatan kepada anak untuk menguji nilai yang ingin dicapainya dengan perbuatan nyata. Dari kenyataan yang dialaminya itu diharapkan anak akan mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Contoh: tujuan agar anak biasa hidup bersih. Setelah ia mengalaminya berulang-ulang berperilaku bersih pada berbagai jenis dan tingkat kebersihan, maka ia diharapkan kelak mengerti dan biasa hidup bersih. Anak didik biasanya tidak menyadari bahwa ia sedang dibawa ke arah suatu tujuan pendidikan insidental ataupun tentatif, karena memang tujuan ini tidak secara tersurat dapat diketahui oleh anak.

Tujuan intermedier, (media = antara) ialah tujuan yang melayani tujuan pendidikan yang lain atau tujuan yang lebih luas atau lebih tinggi tingkatannya. Contoh: murid belajar membaca dengan tujuan agar ia kelak dapat belajar sendiri tentang ilmu pengetahuan dengan jalan membaca buku-buku.

Tujuan tidak lengkap (sementara), ialah tujuan yang berkenaan dengan salah satu aspek kehidupan. Disebut tidak lengkap karena setiap tujuan yang dihubungkan dengan salah satu aspek kehidupan itu berarti tidak lengkap. Tujuan yang lengkap ialah tujuan yang mengembangkan seluruh aspek kehidupan itu, yaitu tujuan umum pendidikan. Aspek-aspek tujuan umum pendidikan ialah:
a)      Pendidikan jasmani
b)      Pendidikan religius
c)      Pendidikan sosial
d)      Pendidikan ekonomis
e)      Pendidikan etika
f)        Pendidikan estetika

Tujuan umum, (akhir, universal, total) ialah tujuan yang menjadi sumber bagi bagi tujuan lainnya. Semua manusia di seluruh dunia ingin mencapai tujuan itu, yaitu tujuan umum pendidikan ialah manusia dewasa. Pengkhususan tujuan umum, itu terjadi karena manusia dewasa yang universal itu diberi bentuk yang nyata berhubung dengan kebangsaan, kebudayaan, agama, sistem politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, manusia dewasa bagi bangsa Indonesia adalah selaras dengan filsafat bangsa Indonesia, yaitu manusia yang memiliki karakteristik kepribadian Pancasila. Ada beberapa karakteristik umum kedewasaan, yaitu sebagai berikut:
a)      Memiliki otonomi dalam kehidupan kesusilaan. Orang dewasa ialah manusia yang mampu mengambil keputusan susila tanpa dipengaruhi atau dipaksa oleh orang lain, serta mampu melaksanakan keputusan susila itu dalam perbuatan nyata. Katahati orang dewasa pada umumnya telah terbentuk. Dengan demikian, walaupun ia sendiri tanpa pengawasan orang lain, ia tetap berpikir dan berbuat sesuai dengan prinsip kesusilaan.
b)      Orang dewasa itu menjadi anggota masyarakat penuh. Orang dewasa mampu bergaul dengan orang dewasa lain dalam rangka memberi sumbangan bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negaranya. Orang dewasa ialah seorang yang berguna bagi masyarakat dan negaranya.
c)      Orang dewasa ialah orang yang matang secara biologis, dan psikologis. Pertumbuhan secara biologis boleh dikatakan telah mencapai titik tertinggi. Demikianlah ia sudah mampu menikah yang bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan keturunannya sebagai cara mempertahankan dari kepunahan. Kematangan psikologis meliputi aspek volitional (kemauan) merupakan ciri kedewasaan seseorang. Dari aspek afektif, orang dewasa memperlihatkan: (a) Suasana emosi yang stabil, misalnya merasa yakin akan dirinya berani menghadapi saat-saat kritis dan kekecewaan dan sebagainya. (b) Orang dewasa dapat diterima oleh dan ia sendiri merasa menjadi milik masyarakat.(c) Orang dewasa mampu memberi dan menerima, ia mampu mencintai dan dicintai. (d) Ia mampu bekerja secara serius, tetapi mampu pula hidup santai seperti bermain dan humor.
d)   Dari aspek intelektual, orang dewasa mampu: (a) menyadari akan kemampuan dirinya, motivasinya, cita-citanya, dan prestasinya; (b) ia mengetahui secara tepat tentang manusia dan peristiwa di sekitarnya, serta kebudayaannya; (c) ia mampu berkomunikasi dengan orang lain secara terampil; (d) ia mampu mengadakan sintesa antara pengetahuan, pengalaman, dan keterampilannya, sehingga ia menjadi pribadi yang fleksibel, toleransi dan adaptif; (e) ia mampu memandang hidup secara keseluruhan dan terintegrasi dengan menganut secara sadar suatu agama atau filsafat hdup
e)      Dari aspek volisional, orang dewasa memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) memiliki karakter produktif, yaitu mampu menghasilkan sesuatu berupa jasa, barang, uang dan sebagainya; (b) ia mampu merealisasikan ide dan kemauannya dalam masyarakat, dengan jalan bekerjasama, bersedia memimpin dan dipimpin, sehingga nampak “siapa dia”; (c) ia mampu melakukan keseimbangan antara kepentingan dirinya dan kepentingan sosial, dan; (d) ia mampu merencanakan masa depannya. Dengan demikian, orang dewasa memiliki keseluruhan karak- teristik yang mampu merealisasikan norma-norma yang dijadikan sebagai filsafat hidup atau cita-cita hidup yang lebih baik.

E.     IMPLIMENTASI PRAGMATISME DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Tujuan dari pendidikan pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif, membentuk jiwa yang bertanggung jawab, sosial dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah direncanakan.

Filsafat pendidikan pragmatisme jika dikaitkan dengan pembelajaran sejarah, contohnya dengan menggunakan salah satu metode rekreasi ke musium sejarah, dan dengan begitu diharapkan sisiwa tersebut  dapat menjadi tempat belajar yang menyenangkan dan dapat membangun pengetahuan mereka. Karena selama bertahun-tahun musium dianggap sebagai objek nyata yang dijadikan referensi untuk menguji dan meningkatkan pengetahuan yang telah dicapai dan disampaikan dalam bentuk lain. Museum digambarkan sebagai pusat dokumentasi tiga dimensi dunia dan sejarah manusia yang tidak dapat dingantikan oleh publikasi lainnya. Musium menyediakan informasi, pendidikan dan hiburan.

Pembelajaran melalui kunjungan ke musium ini dapat memberikan manfaat, karena hal ini akan memberikan pemahaman bahwa sejarah memiliki realitas, dengan melihat peninggalan-peninggalan kuno maka para peserta didik akan menyadari bahwa sejarah berhubungan dengan fakta-fakta.  Semua ini akan dapat meningkatkan ketertarikan peserta didik untuk belajar sejarah dan dapat menanamkan sisi-sisi yang terkandung dalam sejarah tersebut baik dari sisi luar yang merupakan fakta-fakta tentang peninggalan-peninggalan sejarah tersebut yang direkonstruksi oleh peserta didik, maupun dari sisi dalamnya yaitu nilai-nilai yang terkandung di balik fakta atau peristiwa sejarah tersebut, dengan demikian pembelajaran sejarah  tersebut akan menjadi menyenangkan, menarik minat siswa dan membentuk berfikir kritis peserta didi. Di sini peserta didik tidah hanya belajar sejarah dengan abstrak tapi mereka mampu merekonstruksi sejarah tersebut ke dalam kehidupan mereka masing-masing.

Selain belajar sejarah dengan menggunakan metode rekreasi ke musium. Guru juga bisa menggunakan metode problem solving, pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari siswa, dengan begini siswa akan mempunyai pengalaman belajar sendiri  dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan mereka akan mencoba untuk memahami masalah tersebut, sehingga nantinya mampu memberikan pengetahuan kepada anak yang bermakna bagi dirinya.


 BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Pendidikan pragmatisme berwatak humanis, dan manusia adalah ukuran segala-galanya. Rasio manusia tidak pernah terpisah dari dunia, bahkan menjadi bagian dari dunia itu sendiri. Pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis, serta benar tidaknya hasil pikiran manusia akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktek. Jadi, suatu teori dikatakan benar jika berfungsi praktis bagi kehidupan manusia. Pragmatisme tidak menaruh perhatian terhadap suatu nilai yang tidak empiris. Konsep pendidikan pragmatisme adalah, pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak menjadi manusia yang mandiri, bertanggung-jawab, dan dapat memecahkan persoalan hidupnya sendiri. Pendidikan harus dilangsungkan di tempat dimana anak berada. Kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah, tetapi merupakan satu kesatuan, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman di luar sekolah. Masalah yang diangkat oleh guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak. Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru.
Dalam pendidikan pragmatisme, semua materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme hanyalah sebagai fasilitator dan motivator kegiatan anak. Semua kegiatan anak dilakukan sendiri seiring dengan minat dan kebutuhan yang dipilih, tetapi guru tetap memberikan arahan yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.


B.  SARAN
Dalam melaksanakan pembelajaran sejarah, hendaknya guru harus dapat menguasai situasi dan kondisi kelas, dapat mengenal karakteristik peserta didik, dan dapat mengetahui perkembangan belajar peserta didik. Dari penguasaan-penguasaan pada diri peserta didik itulah seorang guru dapat memberikan perhatian yang lebih terhadap peserta didik yang kemampuannya kurang, dan memberi pengayaan terhadap peserta didik yang lebih menonjol kemampuannya dalam pembelajaran. Filsafat pendidikan pragmatisme sendiri sifatnya humanistis, karena manusia dapat berubah dan sifatnya dinamis


 Daftar pusataka

Fuad Ihsan. 2010.”Filasafat Ilmu”. Rineka Cipta: Jakarta.
Imam Barnadib. 1976. “Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode)”. Andi Offset : Yogyakarta.
Kochhar. 2008. “Pembelajaran Sejarah ( Teaching of History)”. Gramedia : Jakarta
Muhammad Adib. 2011. “Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan)”. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Teguh Wangsa Gandhi. 2011. “Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab filsafat pendidikan)”. Ar-Ruzz Media : Yogyakarta.
Uyoh Sadulloh. 2008. “Pengantar Filsafat Pendidikan”. Alfabeta : Bandung.